MAKALAH
ONTOLOGI,
EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI
Disusun oleh :
Nursiah_H0417334
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SULAWESI BARAT
2018
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT karena
atas berkat, rahmat dan hidayahnya sehingga makalah “ Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi” sebagai tugas mata kuliah
Filsafat Sains dapat terselesaikan sebagaimana mestinya. Salam dan taslim
semoga tetap tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW, nabi yang telah
mengibarkan bendera panji-panji kebenaran di muka bumi ini.
Dengan terselesaikannya makalah
ini, ada pihak-pihak yang turut serta membantu menyelesaikan makalah ini, maka
penulis menghaturkan terima kasih kepada:
1.
Mutmainna, S.Pd., M.Pd selaku desen pengampuh
mata kuliah filsafat sains
2. Semua
pihak yang ikut membantu penulis dalam penyelesaian makalh, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam makalah ini masih memiliki
banyak kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis.
Dengan demikian makalah ini dapat
terselesaikan, penulis mengharapkan agar makalah ini dapat digunakan dengan
sebaik-baiknya dan dapat menjadi nilai tambah dalam mata kuliah filsafat sains
Majene, 8 April 2018
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ………………………………………….......i
DAFTAR
ISI ……………………………………………………....ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang …………………………………………………….1
B.
Rumusan
Masalah …………………………………………………2
C.
Tujuan
Penulisan …………………………………………………..2
D.
Manfaat
Penuisan ………………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
ONTOLOGI
……………………………………………………....3
B.
EPISTEMOLOGI
…………………………………………………6
C.
AKSIOLOGI
…………………………………………………….13
BAB III PENUTUP
A.
Simpulan
…………………………………………………………19
B.
Saran
…………………………………………………………..…19
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Sejarah filsafat tidak selalu lurus terkadang berbelok kembali ke
belakang,sedangkan sejarah ilmu selalu maju. Dalam sejarah pengetahuan manusia,
filsafat danilmu selalu berjalan beriringan dan saling berkaitan. Filsafat dan
ilmu mempunyaititik singgung dalam mencari kebenaran. Ilmu bertugas melukiskan
dan filsafatbertugas menafsirkan fenomena semesta, kebenaran berada disepanjang
pemikiran,sedangkan kebenaran ilmu berada disepanjang pengalaman. Tujuan
befilsafatmenemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang sebenarnya
itu disusunsecara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika
filsafat itu biasanya terbagimenjadi tiga cabang besar filsafat, yatu teori
pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai.Ilmu pengetahuan sebagai produk
kegiatan berpikir yang merupakan oborperadaban dimana manusia menemukan dirinya
dan menghayati hidup lebihsempurnaMaka untukmenjawabnya diperlukan sistem
berpikir secara radikal, sistematis dan universalsebagai kebenaran ilmu yang
dibahas dalam filsafat keilmuan.
Oleh karena itu, ilmu tidak terlepas dari landasan ontologi,
epistemologi danaksiologi. Ontologi membahas apa yang ingin diketahui mengenai
teori tentang “ ada“ dengan perkataan lain bagaimana hakikat obyek yang
ditelaah sehinggamembuahkan pengetahuan. Epistemologi membahas tentang
bagaimana prosesmemperoleh pengetahuan. Dan aksiologi membahas tentang nilai
yang berkaitandengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dengan membahas ketiga unsurini manusia akan mengerti apa hakikat
ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang sebenarnya,maka manusia tidak akan dapat
menghargai ilmusebagaimana mestinya.Berdasarkan uraian teroretis di atas, maka
penulis akan membahas pengertianOntologi, Epistemologi dan Aksiologi serta
segala permasalahannya sebagai unsuryang sangat penting dalam filsafat ilmu
yang dipandang sebagai satu kesatuan yangtidak terpisahkan antara satu dengan
yang lainnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian antologi, epistimologi, dan akseologi ?
2. Apa aspek antologi, epistimologi, dan akseologi ?
3. Bagaimana karakteristik antolologi, epistimologi, dan akseologi ?
4. Apa aliran antologi, epistimologi, dan akseologi ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Agar mengetahui pengertian antologi, epistimologi, dan akseologi
2. Agar mengetahui aspek antologi, epistimologi, dan akseologi
3. Agar mengetahui karakteristik antolologi, epistimologi, dan akseologi
4. Agar mengetahui aliran antologi,
epistimologi, dan akseologi
D.
Manfaat Penulisan
1. Teori : guna dijadikan sebagai bahan ajar, atau materi tambahan dalam
proses belajar mengajar.
2. Praktis : guna dijadikan sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. ONTOLOGI
1. Pengertian
ontologi
Ontologi
berasal dari bahasa Yunani yaitu Ontos berarti yang ada dan Logos berarti ilmu.
Jadi, ontologi adalah ilmu yang mempelajari atau membahas tentang hakikat
sesuatu yang ada atau dengan kata lain artinya ilmu yang mempelajari tentang
“yang ada” atau dapat dikatakan terwujud dan berdasarkan logika. Sedangkan
menurut istilah ontologi adalah ilmu yang membahas sesuatu yang telah ada, baik
secara rohani. Disisi lain, ontologi filsafat adalah cabang filsafat yang
membahas tentang prinsip yang paling dasar atau yang paling dalam dari sesuatu
yang ada.
Ontologi
juga dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Hakikat
dalam kajian ontologi adalah keadaan yang sebenarnya dari sesuatu, bukan
keadaan sementara yang selalu beruba-rubah.
Jadi,
ontologi pengetahuan filsafat adalah ilmu yang mempelajari suatu yang ada atau
berwujud berdasarkan logika sehingga dapat diterima oleh banyak orang yang
bersifat rasional dapat difikirkan dan sudah terbukti keabsahannya.
2. Aspek
ontologi
Dalam
aspek ontologi diperlukan landasan-landasan dari sebuah pernyataan-pernyataan
dalam ilmu. Landasan-landasan itu disebut sebagai metafisika. Metafisika
merupakan cabang dari filsafat yang menyelidiki gerakan atau perubahan yang
berkaitan dengan yang ada.
Aspek
ontologi ilmu pengetahuan ditelah secara:
a)
Metodis
yaitu menggunakan cara ilmiah
b)
Sistematis
yaitu saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam satu keseluruhan
c)
Koheren
yiatu unsur-unsur bertautan tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan
d)
Rasional
yaitu harus berdasarkan pada kaidah berfikir yang benar( logis)
e)
Komprensif
yaitu melihat objek tidak hanya dari satu sisi atau sudut pandang, melainkan
seacra multidimensional atau secara keseluuhan
f)
Radikal
yaitu diuraikan sampai akar persoalan atau esensinya
g)
Universal
yaitu muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku dimana saja.
3. Karakteristik
ontologi
a)
Ilmu
berasal dari riset( penelitian)
b)
Tidak
ada konsep wahyu
c)
Adanya
konsep pengetahuan empiris
d)
Pengetahuan
rasional, bukan keyakinan
e)
Pengetahuan
metodologis
f)
Pengetahuan
observatif
g)
Menghargai
asas verifikasi( pembuktian)
h)
Menghargai
asas skeptinisme yang radikal.
4. Aliran
– aliran ontologi
a.
Monoisme
Monoisme adalah aliran yang memberikan gagasan
metafisis bahwa kosmos tersebut dari suatu zat. Paham ini terbagi dalam dua
aliran:
1.
Metarialisme
Menurut aliran ini, yang sesungguhnya ada adalah
keberadaan yang bersifat material atau bergantung pada materi.
2.
Idealisme
Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang
beraneka ragam itu semua besaral dari ruh atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu
yang tidak berbentuk dan menempati ruang
b.
Dualisme
Dualisme merupakan aliran filsafat yang mencoba
memadukan antara dua paham yang saling bertentanga yaitu materialisme dan
idealisme. Dualisme menyatakan bahwa materi dan ruh sama-sama hakikat. Tokoh
paham ini adalah Descartes( 1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat
moderm. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan isilah dunia kesadaran ( ruhani)
dan dunia ruang ( kebendaan).
c.
Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk
merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa
segenap macam bentuk itu semua nyata.
d.
Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti
Nothing atau tidak ada. Isilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev.
Doktrin tentang nihilisme yaitu, pada pandangan Gorgias yang memberikan tiga
proposisi tentang realitas yaitu tidak ada sesuatu pun yang eksis, bila sesuatu
itu ada maka isinya tidak dapat diketahui, sekalipun realitas itu dapat
diketahui maka isinya tidak akan dapat diberitahukan kepada orang lain.
e.
Agnotinisme
Agnotinisme adalah aliran yang mengatakan bahwa
manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu di balik kenyataan ini. Baik
hakikat materi mmaupun hakikat rohani. Aliran ini dengan tegas selalu
menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancendent.
B. EPISTIMOLOGI
1. Pengertian
Epistimologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos.
Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan
pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori
pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam
bahasa Inggrisnya menjadi theory of knowledge. Dengan kata lain, epistemologi
adalah bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan
ukuran kebenarannya. Isu-isu yang akan muncul berkaitan dengan masalah
epistemologi adalah bagaimana pengetahuan itu bisa diperoleh? Jika keberadaan
itu mempunyai gradasi (tingkatan), mulai dari yang metafisik hingga fisik maka
dengan menggunakan apakah kita bisa mengetahuinya? Apakah dengan menggunakan indera
sebagaimana kaum empiris, akal sebagaimana kaum rasionalis atau bahkan dengan
menggunakan intuisi sebagaimana urafa’ (para sufi)? Oleh sebab itu yang perlu
dibahas berkaitan dengan masalah ini adalah tentang teori pengetahuan dan
metode ilmiah serta tema-tema yang berkaitan dengan masalah epistemologi.
2. Aspek
Epistimologi
Epistemologi
juga disebut teori pengetahuan atau kajian tentang
justifikasi kebenaran pengetahuan atau kepercayaan. Untuk menemukan kebenaran
dilakukan sebagai berikut [AR Lacey] :
a. Menemukan
kebenaran dari masalah
b. Pengamatan dan teori untuk menemukan kebenaran
c. Pengamatan dan eksperimen untuk
menemukan
kebenaran
d. Falsification atau
operasionalism (experimental operation, operation research)
e. Konfirmasi
kemungkinan untuk menemukan kebenaran
f. Metode hipotetico –
deduktif
g. Induksi dan presupposisi/teori untuk menemukan kebenaran fakta
3. Karakteristik
Epistimologi
a)
Landasan Ontologi
Ontologi merupakan
sebuah konsep dasar yang menopang suatu sistem filsafat. Dalam bidang ontologi
Nietzsche menolak terminologi Immanuel Kant yang melihat kenyataan dalam dua
dikotomi Nomena dan Fenomena. Fenomena hanyalah sekedar gejala yang tampak di depan
subjek. Ia bukanlah kenyataan. Kenyataan yang sebenarnya ada dibalik fenomena.
Kenyataan sejati merupakan Das Ding An Sich (hal itu sendiri) ada di balik bendanya.
Nomenalah yang hakiki.
Dalam terminologi
Nietzsche, dikotomi semacam ini tidak berlaku, baginya, kenyataan itu adalah
apa yang nyata yang dapat ditangkap subjek. Objek atau benda itulah
kenyataannya. Inilah kenyataan sejati yang tidak dapat disangkal adanya. Tidak
ada sesuatu di balik bendanya. Das Ding An Sich hanyalah lelucon sebagai suatu ajaran yang
masih dikuasai oleh dogma. Sebagaimana dipercaya akal manusia tidak akan mampu
mengetahui nomena. Sesuatu yang tidak dapat ditangkap, diketahui dan hanya bisa
diandaikan adanya yang tidak layak untuk dipercaya. Kenyataan adalah apa yang
ada di dunia ini, yang nyata, faktual, yang dapat ditangkap subjek. Ajaran Das Ding An Sich ini menempatkan
dan membuat hidup manusia menjadi kurang bermakna. Dunia yang adanya nun jauh
disana (yang hanya diandaikan bukan fakta) lebih dihargai.
Konsep ontologi Nietzsche
ini mempunyai implikasi dalam ajaran tentang manusia. Manusia untuk menjadi
manusia menghadirkan diri lewat budaya. Pandangan tentang manusia dapat
dikatakan cenderung ke monisme, dimana hakikat manusia itu adalah tubuhnya.
Yang dipandang manusia itu adalah yang bereksistensi, sedangkan eksistensi itu
terjadi jika ada tubuh. Hal ini sangat jelas diungkapkan Zarathustra :
Aku adalah tubuh dan “jiwa” demikian
dikatakan sang anak. Apa salahnya berbicara seperti seorang anak?Tapi mereka
telah bangun, dan mereka yang tahu berkata : “aku adalah tubuh seluruhnya.
Tidak ada yang lain, jiwa adalah sesuatu dari tubuh” (Nietzsche, 1969: 146)
Tubuh adalah sebuah
akal besar, kemajemukan yang bermakna satu, perang dan damai, kawanan domba
sekaligus gembalanya.
“Akal kecilmu
adalah alat dari tubuhmu itu, saudaraku, yang kau sebut “ruh” itu adalah alat
dari tubuh. Sebuah alat dan mainan kecil dari akal besar”.
Dari pandangan yang
berat sebelah dengan dominasi tubuh atas jiwa semacam ini, tidak mengherankan
jika ia memberi perhatian dan penghargaan pada ilmu biologi.
b)
The Will to Power sebagai Titik Pusat Ajarannya
Karya Der Wille zur Macht (The will to power) merupakan magnum opus Nieetzsche. Inti
semua ajarannya terdapat disini. Segala konsep dan masalah yang diperbncangkan
selalu bermuara pada kehendak untuk berkuasa. Sebagai mana diungkapkan oleh
Walter Kaufmann :
Konsepsi kehendak untuk berkuasa
adalah titik pusat dari filsafat Nietzsche. Dalam buku Aporishma-nya, ia
menemukan kehendak untuk berkuasa, berkarya dalam segala tingkah laku dan
penilaian manusia. Dalam Zarathustra, ia mengungkapkan bahwa kehendak untuk
berkuasa merupakan motif dasar dan mengatakan bahwa kehendak itu terdapat pada
semua makhluk hidup. (Dalam karyanya kemudian ia menganggapnya telah menembus
sampai pada kehendak tak hidup) (Kaufmann, 1967: 510)
Pengetahuan sebagai
salah satu dari sekian banyak kegiatan manusia tentu saja tidak dapat
dilepaskan dari konsep ini. Nietzsche melihat pengetahuan itu dalam kerangka
yang lebih luas dan menyeluruh dalam rangka memahami manusia secara utuh. Ia
memasukkan unsur yang tidak dibahas dengan pemikiran epistemologi sebelumnya,
yaitu unsur motif kegiatan mengetahui. Menghubungkan kehendak untuk berkuasa
dengan pengetahuan merupakan hal yang aneh apabila dibahas dalam kerangka
pengetahuan (epistemologi) manusia secara sempit.
Konsepnya akan
tampak jelas jika dipahami dalam kerangka kegiatan (pengetahuan) manusia yang
lebih luas. Justru ia melangkah lebih jauh dari para pendahulunya, dimana ia
sudah menginjakkan kaki pada wilayah yang sekarang ini disebut sebagai Filsafat Ilmu yang pada masa itu
belum mendapatkan perhatian. Inilah yang merupakan ciri dari pemikiran
Nietzsche, dimana pemikirannya selalu mendahului satu atau dua tingkat pada
sesudahnya. Epistemologinya jelas sekali merupakan kritik terhadap epistemologi
tradisional, epistemologi sempit.
c)
Vitalisme dan Nihilisme
Siapapun tidak
menyangkal bahwa Nietzsche adalah seorang vitalis. Namun, vitalismenya berbeda
dengan vitalisme Henry Bergson dimana elan vital dipahami sebagai daya hidup, unsur yang
merupakan inti hidup. Vitalisme pada Nietzsche lebih bersifat aktif. Vitalisme
dalam pengertian ini mengandung makna semangat hidup. Hidup itu sangat
berharga. Kecintaan yang luar biasa terhadap hidup bukan berarti takut untuk
mati. Hidup harus dihadapi dengan penuh keberanian, tidak boleh menyerah.
Manusia harus berani berkata ya untuk setiap tantangan dan bahaya. Dari
tantangan dan bahaya inilah manusia akan menjadi besar.
Manusia itu agung
asal mau menjulangkan semangat hidup dan gairahnya setinggi-tingginya. Untuk
itu, manusia harus bebas dari kekuatiran akan dosa dan bebas dari nilai-nilai
tradisional yang membelenggu potensi kemanusiaannya. Cinta kehidupan berarti
harus sanggup menangggung kenyataan bahwa manusia bukanlah sesuatu yang sudah
selesai, ia selalu dalam proses menjadi. Manusia adalah jembatan antara
binatang dan manusia agung. Ke manapun ia menoleh, ia akan menatap ancaman dan
bahaya (Fuad Hasan, 1989: 62).
Aktivitas pemikiran
harus diletakkan pada landasan keberanian, yang berasal dari keinginan untuk
terus maju dan menantang penghalang. Manusia bebas itu harus terus berkreasi,
mencipta.Dalam berkreasi ini harus menelorkan hal-hal yang benar-benar baru,
orisinal, walalupun harus bertentangan dengan pemikiran pada masa itu. Di
sinilah Nietzsche sampai pada Nihilisme. Nihilisme merupakan syarat untuk
menjamin orisinalitas dalam berkreasi sehungga kreasi itu benar-benar bermakna.
Orang harus berani menolak nilai-nilai dan pemikiran yang ada sebelumnya.
Teori-teori, hukum-hukum, pengetahuan yang diciptakan harus benar-benar
dilepaskan dari konsep sebelumnya. Teori-teori yang muncuil tidak akan bermakna
jika hanya mengukuhkan atau mengukur teori yang sudah ada. Bahkan, teori yang
sudah besar dan mapan pun harus dilepaskan.
Kritik dan
penolakan terhadapa epistemologi tradisional yang berusaha memperoleh kebenaran
bukan semata-mata karena semangat nihilismenya. Selama teori yang ada
sebelumnya selalu dianggap benar, maka tidak akan muncul pengetahuan yang baru.
Dengan sendirinya tidak akan ada kemajuan. Di sinilah Nietzsche mengajarkan
suatu keterbukaan ilmu yang pada abad ke-20 ini diteruskan oleh Karl R. Popper.
d)
Aliran Epistimologi
1. Empirisme
Empirisme berpendirian bahwa semua
pengetahuan diperoleh melalui indra. Indra memperoleh kesan-kesan nyata.
Kemudian, kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia sehingga menjadi
pengalaman. Pengetahuam yang berupa pengalaman terdiri atas penyusunan dan
pengaturan kesan-kesan yang bermacam-macam. Dari segi hakikat pengetahuan
empirisme berpendirian bahwa pengetahuan berupa pengalaman. (Sudaryanto, 2013:
39).
2. Rasionalisme
Sumber pengetahuan menurut rasionalisme adalah akal. Akal
memperoleh bahan melalui indra. Kemudian diolah oleh akal sehingga menjadi
pengetahuan. Rasionalisme mendasarkan pada metode deduksi, yaitu cara
memperoleh kepastian melalui langkah-langkah metodis yang berttik tolak dari
hal-hal yang bersifat umum untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat
khusus.Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal.
Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut
rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak didalam ide kita, dan
bukannya pada objek. (Kattsoff, 2004: 135)Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya
adalah Rene Descartes, Spinoza, dan Leibniz.
3. Fenomenologi
Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh
J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia),
ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan
sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi
(fenomen).Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan
merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan
dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang
sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada
umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk
atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak.
Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari
pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan
historis dari perkembangan pikiran manusia.
4. Intuisionisme
Intusionalisme adalah suatu aliran atau paham yang menganggap
bahwa intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi
termasuk salah satu kegiatan berpikir yang tidak didasarkan pada penalaran.
Jadi Intuisi adalah non-analitik dan tidak didasarkan atau suatu pola berpikir
tertentu dan sering bercampur aduk dengan perasaan. Tokoh aliran
intusionalisme, antara lain: Plotinos (205 -270) dan Henri Bergson (1859
-1994).Bergon menyatakan bahwa intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui
secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan
jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung
dari pengetahuan intuitif. (Kattsoff, 2004: 141)
5. Positivisme
Positivisme berpendirian bahwa kepercayaan yang dogmatis harus
digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apapun yang berada diluar dunia
pengalaman tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia
ini. Filsafat positivisme berpandangan bahwa semua fenomena tunduk terhada
hukum alam yang sama. Urusan kita adalah mengupayakan suatu penemuan akurat
atas hukum-hukum itu.
6. Skeptisisme
Skeptisisme adalah satu-satunya aliran yang secara radikal dan
fundamental tidak mengakui adanya kepastian dan kebenaran, atau
sekurang-kurangnya menyangsikan secara fundamental kemampuan pikiran manusia
untuk mendapatkan kepastian. (Pranarka, 1987: 95)Secara etimologikal kita
mengetahui bahwa istilah skeptisisme itu berasal dari kata bahasa Yunani skeptomai,
artinya memperhatikan dengan cermat, meneliti. Para skeptisi pada mulanya
adalah orang-orang yang mengamati segala sesuatu dengan cermat serta mengadakan
penelitian terhadapnya. Namun karena didalam interaksi diantara mereka itu
tidak tercapai kesepakatan, maka timbullah masalah baru yaitu mengenai patokan
kesepakatan. Bahkan selanjutnya sementara sampai kepada kesimpulan untuk
meragukan adanya kepastian dan ukuran kebenaran. Dari situlah timbul istilah
skeptisisme yaitu aliran atau sistem pemikiran yang mengajarkan sikap ragu
sebagai sikap dasar yang fundamental dan universal. (Pranarka, 1987: 95)
7. Agnotisisme
Mudhofir (1996:4)
dengan singkat menjelaskan bahwa agnostisisme dalam epistemologi adalah aliran
yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin memperoleh pengetahuan tentang
suatu pokok permasalahan. Pokok permasalahan yang seperti apa? Tidak dijelaskan
dalam bukunya.
Sedangkan Hartoko
(1986:3) menjelaskan dengan menambahkan apa yang tidak dapat diketahui itu.
Menurutnya agnostisisme sama dengan skeptisisme, yang menyangkal bahwa hakekat
sesuatu dapat diketahui (melawan pengetahuan metafisik). Apalagi pengetahuan
menganai adanya tuhan dan sifat-sifatnya. Merekea (para agnotis) hanya menerima
pengetahuan inderawi dan empirik. Tiada menerima adanya analogi.Jika kembali
melihat arti katanya tentu akan mendapatkan pengertian yang lebih luas lagi.
Lorens (2005:22-23) mengatakan bahwa asal istilah ini ialah kata yunani, ’ yang
berarti ‘bukan’ atau ‘tidak’, dan gnostikos yang berarti ‘orang yang
mengetahui’ atau ‘mempunyai pengetahuan tentang’. Agnostis berarti tidak
diketahui.
C. AKSIOLOGI
1. Pengertian Aksiologi
Dalam
Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti “nilai”
dan logos yang berarti “ilmu” atau “teori”. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang
nilai. Adapun Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan
bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nalai secara
umum.k
Aksiologi
yaitu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai
landasan ilmu aksiologi mempertanyakan untuk pengetahuan yang berupa ilmu itu
digunakan? Bagaimana kaitan ntara cara penggunaan itu dan kaidah moral?
Bagaimana penentuan jek yang ditelaah berdasarkan pilihan moral? Bagaimana
kaitan antara teknik, prosedural yang merupakan operasionaliaasi metode ilmiah
dan norma-norma moral atau profesional? Aksiologi merupakan cabang filsafat
ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi
dipahami sebagai teori nilai. Jujun S. Suriasumantri (2010) mengartikan
aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan penggunaan dari pengetahuan
yang diperoleh. Menurut Francia Bacon dalam Jujun bahwa "pengetahuan
adalah kekuasaan" apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru
malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang
diaebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan
ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai
kebahagiaan hidupnya.
2.
Aspek
Aksiologi
a.
Etika
Etika
merupakan salah satu cabang ilmu fisafat yang membahas moralitas nilai baik dan
buruk, etika bisa di definisikan sebagai nilai-nilai atau norma-norma yang
menjadi pegangan manusia atau masyarakat yang mengatur tingkah lakunya.Etika
berasal dari dua kata ethos yang berarti sifat, watak, kebiasaan, ethikos
berarti susila, keadaban atau kelakuan dan perbuatan yang baik.Dalam istilah
lain dinamakan moral yang berasal dari bahasa latin mores, jamak dari mos yang
berarti adat, kebiasaan. Dalam bahasa arab disebut akhlaq yang berarti budi
pekerti dan dalam bahasa Indonesia dinamakan tata susila.Dalam hal ini ada
berbagai pembagian etika yang dibuat oleh para ahli etika, beberapa ahli
membagi ke dalam dua bagian, yaitu etika deskriptif dan etika normative, ada
juga yang menambahkan yaitu etika metaetika.
1)
Etika deskriptif
Etika
deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas seperti:
adat kebiasaan, anggapan tentang baik atau buruk, tindakan yang di perbolehkan
atau tidak. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu,
kebudayaan atau sub-kultur tertentu. Oleh karena itu, etika deskriptif ini
tidak memberikan penilaian apapun, ia hanya memaparkan. Etika deskriptif lebih
bersifat netral. Misalnya, penggambaran tentang adat mangayau kepala pada suku
primitive.
Etika
deskriptif dibagi ke dalam dua bagian: pertama, sejarah moral, yang meneliti
cita-cita, norma-norma yang pernah di berlakukan dalam kehidupan manusia pada
kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang
mencakup beberapa bangsa. Kedua, fenomenologi moral, yang berupaya menemukan
arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena moral yang ada.
2)
Etika Normatif
Etika normatif
mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat mempersoalkan norma yang diterima
seseorang atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah
norma itu benar atau tidak. Etika normatif berarti sistem-sistem yang
dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan
yang menyangkut baik atau buruk.
Etika normatif
kerap kali juga disebut filsafat moral atau juga disebut etika filsafati. Etika
normatif dapat dibagi kedalam dua teori, yaitu teori nilai dan teori keharusan.
Teori-teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori keharusan
membahas tingkah laku. Adapula yang membagi etika normative kedalam dua
golongan sebagai berikut: konsekuensialis dan nonkonsekuensialis.
Konsekuensialis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh
konsekuensinya. Adapun nonkonsekuensialis berpendapat bahwa moralitas suatu
tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari tindakan itu,
atau ditentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaanya yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu.
b. Estetika
Estetika
adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni dan keindahan. Istilah estetika
berasal dari kata Yunai yang mempunyai arti aesthesis, yang berati pencerapan
indrawi, pemahaman intelektual, atau bisa juga berati pengamatan spiritual.
Istilah art berasal dari kata latin ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu,
atau kecakapan.
adalah cabang filsafat yang memberikan
perhatian pada sifat keindahan, seni, rasa, atau selera, kreasi, dan apresiasi
tentang keindahan. Secara ilmiahnya, ia didefinisikan sebagai studi tentang
nilai-nilai yang dihasilkan dari emosi-sensorik yang kadang dinamakan nilai
sentimentalitas atau cita rasa atau selera. Secara luasnya, estetika
didefinisikan sebagai refleksi kritis tentang seni, budaya, dan alam. Estetika
dikaitkan dengan aksiologi sebagai cabang filsafat dan juga diasosiasikan
dengan filsafat seni.
Estetika dapat dibagi kedalam dua bagian,
yaitu estetika deskriptif dan estetika normative. Estetika deskriptif
menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Estetika
normative mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran pengalaman
keindahan. Adapula yang membagi estetika kedalam filsafat seni (philosophy of
art) dan filsafat keindahan (philosophy of beauty). Filsafat seni mempersoalkan
status ontologis dari karya-karya seni dan memepertanyakan pengetahuan apakah
yang dihasilkan oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk
menghubungkan manusia dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah
keindahan itu ada apakah nilai indah itu objektif atau subjektif.
3.
Karakteristik
Akseologi
1.
Nilai objektif atau subjektif. Nilai itu objektif jika
ia tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Sebaliknya nilai itu
subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada
realisasinya subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini
bersifat psikis atau fisik. Suatu nilai dikatakan objektif apabila nilai itu
memiliki kebenarannya tanpa memperhatikan pemilihan dan penilaian manusia.
Contohnya, nilai-nilai baik, jika benar, cantik, merupakan realitas alam, yang
merupakan bagian dari sifat yang dimiliki oleh Benda atau tindakan itu. Nilai
itu subjektif apabila memiliki preferensi pribadi, dikatakan baik karena
dinilai oleh seseorang.
2.
Nilai dikatakan absolut atau abadi. Apabila nilai yang
berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku secara absah
sepanjang masa serta akan berlaku bagi siapa pun tanpa memperhatikan atau kelas
sosial.
4. Aliran Akseologi
a. naturalisme
Aliran yang beranggapan
bahwa kebahagiaan manusia itu diperoleh dengan menurutkan panggilan natural
(fitrah) kejadian manusia sekali. Perbuatan yang baik menurut aliran ini ialah
perbuatan yang sesuai dengan fitrah manusia.
Paham ini menilai baik
dan tidaknya perbuatan seseorang ditilik dari adanya kesesuaian dengan naluri
manusia, baik naluri lahir maupun naluri batin sebagai titik tolak kebahagiaan.
Paham ini didukung oleh Prodicus, Galileo, Grotius, Voltaire, dll.
b.
hedonisme,
Aliran yang berpendapat
bahwa perbuatan susila itu ialah perbuatan yang menimbulkan ‘hedone’
(kenikmatan dan kelezatan). Kebaikan yang paling utama dan kewajiban seseorang
ialah mencari kesenangan sebagai tujuan hidupnya. Aliran hedonisme dibagi
menjadi dua cabang yaitu hedonism egostik dan hedonism universalistic. Aliran
hedonism didukung oleh Demokritos, Aristeppos, dan Epikuros.
c.
utilitarianisme
Aliran yang menilai baik
dan buruknya perbuatan manusia ditinjau dari kecil dan besarnya manfaat bagi
manusia (utility = manfaat). Paham utility didukung oleh JS. Mill, Bentham,
dll.
d.
idealisme
Aliran yang menilai baik
buruknya perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab-musabab lahir, tetapi
haruslah didasarkan atas prinsip kerohanian (idea) yang lebih tinggi.
e.
vitalisme
Aliran yang menilai
baik-buruknya perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada atau tidak adanya daya
hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.
f.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1. Ontologi berasal dari
bahasa Yunani yaitu Ontos berarti yang ada dan Logos berarti ilmu. Jadi,
ontologi adalah ilmu yang mempelajari atau membahas tentang hakikat sesuatu
yang ada atau dengan kata lain artinya ilmu yang mempelajari tentang “yang ada”
atau dapat dikatakan terwujud dan berdasarkan logika. Sedangkan menurut istilah
ontologi adalah ilmu yang membahas sesuatu yang telah ada, baik secara rohani.
Disisi lain, ontologi filsafat adalah cabang filsafat yang membahas tentang
prinsip yang paling dasar atau yang paling dalam dari sesuatu yang ada.
2. Epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan
pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori.
Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar dan
lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi
theory of knowledge. Dengan kata lain, epistemologi adalah bidang ilmu yang
membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenarannya.
3. Dalam
Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti “nilai”
dan logos yang berarti “ilmu” atau “teori”. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang
nilai. Adapun Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan
bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nalai secara
umum.k
B. Saran
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, kita dianjurkan untuk mempelajari
filsafat dengan berbagai macam cabang ilmunya. Karena, dengan cara kerjanya
yang bersifat sistematis, universal (menyeluruh) dan radikal, yang mengupas,
menganalisa sesuatu secara mendalam, ternyata sangat relevan dengan
problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat antara
berbagai macam disiplin ilmu yang terpisah kaitannya satu sama lain. Dengan
demikian, menggunakan analisa filsafat, berbagai macam disiplin ilmu yang
berkembang sekarang ini, akan menemukan kembali relevansinya dengan hidup dan
kehidupan masyarakat dan akan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi
kesejahteraan hidup manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Royn.2017.Philosophers Community Filsafat Ontologi, Epistemologi
dan Aksiologi.
E:\filsafat
sains\Philosophers Community_ Filsafat_ Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi.mhtml
Diakses 1 April 2019
Afid
Burhanuddin.2016.EPISTIMOLOGI, ONTOLOGI, AKSIOLOGI, PENGETAHUAN
FILSAFAT.
(E:\filsafat
sains\EPISTIMOLOGI, ONTOLOGI, AKSIOLOGI, PENGETAHUAN FILSAFAT – Afid
Burhanuddin (1) (1).mhtml
Diakses 28
Maret 2019
Raditya.2013.Filsafat Ilmu dan Logika_ AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN
DAN MANFAATNYA BAGI MANUSIA.
E:\filsafat
sains\Filsafat Ilmu dan Logika_ AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN DAN MANFAATNYA BAGI
MANUSIA (Bab 10).mhtml
Diakses 28
Maret 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar