Rabu, 09 Oktober 2019

Makalah Filsafat Sains



MAKALAH

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI





Disusun oleh :
Nursiah_H0417334



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULAWESI BARAT
2018







KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT karena atas berkat, rahmat dan hidayahnya sehingga makalah “ Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi” sebagai tugas mata kuliah Filsafat Sains dapat terselesaikan sebagaimana mestinya. Salam dan taslim semoga tetap tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW, nabi yang telah mengibarkan bendera panji-panji kebenaran di muka bumi ini.
Dengan terselesaikannya makalah ini, ada pihak-pihak yang turut serta membantu menyelesaikan makalah ini, maka penulis menghaturkan terima kasih kepada:
1.      Mutmainna, S.Pd., M.Pd selaku desen pengampuh mata kuliah filsafat sains
2.  Semua pihak yang ikut membantu penulis dalam penyelesaian makalh, baik secara   langsung maupun tidak langsung.
Dalam makalah ini masih memiliki banyak kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis.
Dengan demikian makalah ini dapat terselesaikan, penulis mengharapkan agar makalah ini dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan dapat menjadi nilai tambah dalam mata kuliah filsafat sains

                          Majene, 8 April 2018


                           Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………….......i
DAFTAR ISI ……………………………………………………....ii
BAB I PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang …………………………………………………….1
B.     Rumusan Masalah …………………………………………………2
C.     Tujuan Penulisan …………………………………………………..2
D.     Manfaat Penuisan ………………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN
A.     ONTOLOGI ……………………………………………………....3
B.     EPISTEMOLOGI …………………………………………………6
C.     AKSIOLOGI …………………………………………………….13
BAB III PENUTUP
A.     Simpulan …………………………………………………………19
B.     Saran …………………………………………………………..…19
DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar belakang
Sejarah filsafat tidak selalu lurus terkadang berbelok kembali ke belakang,sedangkan sejarah ilmu selalu maju. Dalam sejarah pengetahuan manusia, filsafat danilmu selalu berjalan beriringan dan saling berkaitan. Filsafat dan ilmu mempunyaititik singgung dalam mencari kebenaran. Ilmu bertugas melukiskan dan filsafatbertugas menafsirkan fenomena semesta, kebenaran berada disepanjang pemikiran,sedangkan kebenaran ilmu berada disepanjang pengalaman. Tujuan befilsafatmenemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang sebenarnya itu disusunsecara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu biasanya terbagimenjadi tiga cabang besar filsafat, yatu teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai.Ilmu pengetahuan sebagai produk kegiatan berpikir yang merupakan oborperadaban dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup lebihsempurnaMaka untukmenjawabnya diperlukan sistem berpikir secara radikal, sistematis dan universalsebagai kebenaran ilmu yang dibahas dalam filsafat keilmuan.
Oleh karena itu, ilmu tidak terlepas dari landasan ontologi, epistemologi danaksiologi. Ontologi membahas apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang “ ada“ dengan perkataan lain bagaimana hakikat obyek yang ditelaah sehinggamembuahkan pengetahuan. Epistemologi membahas tentang bagaimana prosesmemperoleh pengetahuan. Dan aksiologi membahas tentang nilai yang berkaitandengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dengan membahas ketiga unsurini manusia akan mengerti apa hakikat ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang sebenarnya,maka manusia tidak akan dapat menghargai ilmusebagaimana mestinya.Berdasarkan uraian teroretis di atas, maka penulis akan membahas pengertianOntologi, Epistemologi dan Aksiologi serta segala permasalahannya sebagai unsuryang sangat penting dalam filsafat ilmu yang dipandang sebagai satu kesatuan yangtidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian antologi, epistimologi, dan akseologi ?
2.      Apa aspek antologi, epistimologi, dan akseologi ?
3.      Bagaimana karakteristik antolologi, epistimologi, dan akseologi ?
4.      Apa aliran antologi, epistimologi, dan akseologi ?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Agar mengetahui pengertian antologi, epistimologi, dan akseologi
2.      Agar mengetahui aspek antologi, epistimologi, dan akseologi
3.      Agar mengetahui karakteristik antolologi, epistimologi, dan akseologi
4.      Agar mengetahui  aliran antologi, epistimologi, dan akseologi

D.     Manfaat Penulisan
1.      Teori : guna dijadikan sebagai bahan ajar, atau materi tambahan dalam proses belajar mengajar.
2.      Praktis : guna dijadikan sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan.




BAB II
PEMBAHASAN
A.     ONTOLOGI
1.      Pengertian ontologi
Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Ontos berarti yang ada dan Logos berarti ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu yang mempelajari atau membahas tentang hakikat sesuatu yang ada atau dengan kata lain artinya ilmu yang mempelajari tentang “yang ada” atau dapat dikatakan terwujud dan berdasarkan logika. Sedangkan menurut istilah ontologi adalah ilmu yang membahas sesuatu yang telah ada, baik secara rohani. Disisi lain, ontologi filsafat adalah cabang filsafat yang membahas tentang prinsip yang paling dasar atau yang paling dalam dari sesuatu yang ada.
Ontologi juga dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Hakikat dalam kajian ontologi adalah keadaan yang sebenarnya dari sesuatu, bukan keadaan sementara yang selalu beruba-rubah.
Jadi, ontologi pengetahuan filsafat adalah ilmu yang mempelajari suatu yang ada atau berwujud berdasarkan logika sehingga dapat diterima oleh banyak orang yang bersifat rasional dapat difikirkan dan sudah terbukti keabsahannya.

2.      Aspek ontologi
Dalam aspek ontologi diperlukan landasan-landasan dari sebuah pernyataan-pernyataan dalam ilmu. Landasan-landasan itu disebut sebagai metafisika. Metafisika merupakan cabang dari filsafat yang menyelidiki gerakan atau perubahan yang berkaitan dengan yang ada.
Aspek ontologi ilmu pengetahuan ditelah secara:
a)      Metodis yaitu menggunakan cara ilmiah
b)      Sistematis yaitu saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam satu keseluruhan
c)      Koheren yiatu unsur-unsur bertautan tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan
d)      Rasional yaitu harus berdasarkan pada kaidah berfikir yang benar( logis)
e)      Komprensif yaitu melihat objek tidak hanya dari satu sisi atau sudut pandang, melainkan seacra multidimensional atau secara keseluuhan
f)       Radikal yaitu diuraikan sampai akar persoalan atau esensinya
g)      Universal yaitu muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku dimana saja.

3.      Karakteristik ontologi
a)        Ilmu berasal dari riset( penelitian)
b)        Tidak ada konsep wahyu
c)        Adanya konsep pengetahuan empiris
d)        Pengetahuan rasional, bukan keyakinan
e)        Pengetahuan metodologis
f)         Pengetahuan observatif
g)        Menghargai asas verifikasi( pembuktian)
h)        Menghargai asas skeptinisme yang radikal.


4.      Aliran – aliran ontologi
a.       Monoisme
Monoisme adalah aliran yang memberikan gagasan metafisis bahwa kosmos tersebut dari suatu zat. Paham ini terbagi dalam dua aliran:
1.      Metarialisme
Menurut aliran ini, yang sesungguhnya ada adalah keberadaan yang bersifat material atau bergantung pada materi.
2.      Idealisme
Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua besaral dari ruh atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang


b.      Dualisme
Dualisme merupakan aliran filsafat yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentanga yaitu materialisme dan idealisme. Dualisme menyatakan bahwa materi dan ruh sama-sama hakikat. Tokoh paham ini adalah Descartes( 1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat moderm. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan isilah dunia kesadaran ( ruhani) dan dunia ruang ( kebendaan).
c.       Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semua nyata.
d.      Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti Nothing atau tidak ada. Isilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev. Doktrin tentang nihilisme yaitu, pada pandangan Gorgias yang memberikan tiga proposisi tentang realitas yaitu tidak ada sesuatu pun yang eksis, bila sesuatu itu ada maka isinya tidak dapat diketahui, sekalipun realitas itu dapat diketahui maka isinya tidak akan dapat diberitahukan kepada orang lain.
e.       Agnotinisme
Agnotinisme adalah aliran yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu di balik kenyataan ini. Baik hakikat materi mmaupun hakikat rohani. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancendent.

                       
                       
        



B.     EPISTIMOLOGI
1.      Pengertian Epistimologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of knowledge. Dengan kata lain, epistemologi adalah bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenarannya. Isu-isu yang akan muncul berkaitan dengan masalah epistemologi adalah bagaimana pengetahuan itu bisa diperoleh? Jika keberadaan itu mempunyai gradasi (tingkatan), mulai dari yang metafisik hingga fisik maka dengan menggunakan apakah kita bisa mengetahuinya? Apakah dengan menggunakan indera sebagaimana kaum empiris, akal sebagaimana kaum rasionalis atau bahkan dengan menggunakan intuisi sebagaimana urafa’ (para sufi)? Oleh sebab itu yang perlu dibahas berkaitan dengan masalah ini adalah tentang teori pengetahuan dan metode ilmiah serta tema-tema yang berkaitan dengan masalah epistemologi.
2.      Aspek Epistimologi
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan atau kajian tentang justifikasi kebenaran pengetahuan atau kepercayaan. Untuk menemukan kebenaran dilakukan sebagai berikut [AR Lacey] :
a.       Menemukan kebenaran dari masalah
b.       Pengamatan dan teori untuk menemukan kebenaran
c.        Pengamatan dan eksperimen untuk menemukan kebenaran
d.      Falsification atau operasionalism (experimental operation, operation research)
e.       Konfirmasi kemungkinan untuk menemukan kebenaran
f.       Metode hipotetico – deduktif
g.        Induksi dan presupposisi/teori untuk menemukan kebenaran fakta



3.      Karakteristik Epistimologi
a)      Landasan Ontologi
Ontologi merupakan sebuah konsep dasar yang menopang suatu sistem filsafat. Dalam bidang ontologi Nietzsche menolak terminologi Immanuel Kant yang melihat kenyataan dalam dua dikotomi Nomena dan Fenomena. Fenomena hanyalah sekedar gejala yang tampak di depan subjek. Ia bukanlah kenyataan. Kenyataan yang sebenarnya ada dibalik fenomena. Kenyataan sejati merupakan Das Ding An Sich (hal itu sendiri) ada di balik bendanya. Nomenalah yang hakiki.
Dalam terminologi Nietzsche, dikotomi semacam ini tidak berlaku, baginya, kenyataan itu adalah apa yang nyata yang dapat ditangkap subjek. Objek atau benda itulah kenyataannya. Inilah kenyataan sejati yang tidak dapat disangkal adanya. Tidak ada sesuatu di balik bendanya. Das Ding An Sich hanyalah lelucon sebagai suatu ajaran yang masih dikuasai oleh dogma. Sebagaimana dipercaya akal manusia tidak akan mampu mengetahui nomena. Sesuatu yang tidak dapat ditangkap, diketahui dan hanya bisa diandaikan adanya yang tidak layak untuk dipercaya. Kenyataan adalah apa yang ada di dunia ini, yang nyata, faktual, yang dapat ditangkap subjek. Ajaran Das Ding An Sich ini menempatkan dan membuat hidup manusia menjadi kurang bermakna. Dunia yang adanya nun jauh disana (yang hanya diandaikan bukan fakta) lebih dihargai.
Konsep ontologi Nietzsche ini mempunyai implikasi dalam ajaran tentang manusia. Manusia untuk menjadi manusia menghadirkan diri lewat budaya. Pandangan tentang manusia dapat dikatakan cenderung ke monisme, dimana hakikat manusia itu adalah tubuhnya. Yang dipandang manusia itu adalah yang bereksistensi, sedangkan eksistensi itu terjadi jika ada tubuh. Hal ini sangat jelas diungkapkan Zarathustra :
Aku adalah tubuh dan “jiwa” demikian dikatakan sang anak. Apa salahnya berbicara seperti seorang anak?Tapi mereka telah bangun, dan mereka yang tahu berkata : “aku adalah tubuh seluruhnya. Tidak ada yang lain, jiwa adalah sesuatu dari tubuh” (Nietzsche, 1969: 146)
           Tubuh adalah sebuah akal besar, kemajemukan yang bermakna satu, perang dan          damai, kawanan domba sekaligus gembalanya.
“Akal kecilmu adalah alat dari tubuhmu itu, saudaraku, yang kau sebut “ruh” itu         adalah alat dari tubuh. Sebuah alat dan mainan kecil dari akal besar”.
Dari pandangan yang berat sebelah dengan dominasi tubuh atas jiwa semacam ini, tidak     mengherankan jika ia memberi perhatian dan penghargaan pada ilmu biologi.
b)      The Will to Power sebagai Titik Pusat Ajarannya
Karya Der Wille zur Macht (The will to power) merupakan magnum opus Nieetzsche. Inti semua ajarannya terdapat disini. Segala konsep dan masalah yang diperbncangkan selalu bermuara pada kehendak untuk berkuasa. Sebagai mana diungkapkan oleh Walter Kaufmann :
Konsepsi kehendak untuk berkuasa adalah titik pusat dari filsafat Nietzsche. Dalam buku Aporishma-nya, ia menemukan kehendak untuk berkuasa, berkarya dalam segala tingkah laku dan penilaian manusia. Dalam Zarathustra, ia mengungkapkan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan motif dasar dan mengatakan bahwa kehendak itu terdapat pada semua makhluk hidup. (Dalam karyanya kemudian ia menganggapnya telah menembus sampai pada kehendak tak hidup) (Kaufmann, 1967: 510)
Pengetahuan sebagai salah satu dari sekian banyak kegiatan manusia tentu saja tidak dapat dilepaskan dari konsep ini. Nietzsche melihat pengetahuan itu dalam kerangka yang lebih luas dan menyeluruh dalam rangka memahami manusia secara utuh. Ia memasukkan unsur yang tidak dibahas dengan pemikiran epistemologi sebelumnya, yaitu unsur motif kegiatan mengetahui. Menghubungkan kehendak untuk berkuasa dengan pengetahuan merupakan hal yang aneh apabila dibahas dalam kerangka pengetahuan (epistemologi) manusia secara sempit.
Konsepnya akan tampak jelas jika dipahami dalam kerangka kegiatan (pengetahuan) manusia yang lebih luas. Justru ia melangkah lebih jauh dari para pendahulunya, dimana ia sudah menginjakkan kaki pada wilayah yang sekarang ini disebut sebagai Filsafat Ilmu yang pada masa itu belum mendapatkan perhatian. Inilah yang merupakan ciri dari pemikiran Nietzsche, dimana pemikirannya selalu mendahului satu atau dua tingkat pada sesudahnya. Epistemologinya jelas sekali merupakan kritik terhadap epistemologi tradisional, epistemologi sempit.
c)      Vitalisme dan Nihilisme
Siapapun tidak menyangkal bahwa Nietzsche adalah seorang vitalis. Namun, vitalismenya berbeda dengan vitalisme Henry Bergson dimana elan vital dipahami sebagai daya hidup, unsur yang merupakan inti hidup. Vitalisme pada Nietzsche lebih bersifat aktif. Vitalisme dalam pengertian ini mengandung makna semangat hidup. Hidup itu sangat berharga. Kecintaan yang luar biasa terhadap hidup bukan berarti takut untuk mati. Hidup harus dihadapi dengan penuh keberanian, tidak boleh menyerah. Manusia harus berani berkata ya untuk setiap tantangan dan bahaya. Dari tantangan dan bahaya inilah manusia akan menjadi besar.
Manusia itu agung asal mau menjulangkan semangat hidup dan gairahnya setinggi-tingginya. Untuk itu, manusia harus bebas dari kekuatiran akan dosa dan bebas dari nilai-nilai tradisional yang membelenggu potensi kemanusiaannya. Cinta kehidupan berarti harus sanggup menangggung kenyataan bahwa manusia bukanlah sesuatu yang sudah selesai, ia selalu dalam proses menjadi. Manusia adalah jembatan antara binatang dan manusia agung. Ke manapun ia menoleh, ia akan menatap ancaman dan bahaya (Fuad Hasan, 1989: 62).
Aktivitas pemikiran harus diletakkan pada landasan keberanian, yang berasal dari keinginan untuk terus maju dan menantang penghalang. Manusia bebas itu harus terus berkreasi, mencipta.Dalam berkreasi ini harus menelorkan hal-hal yang benar-benar baru, orisinal, walalupun harus bertentangan dengan pemikiran pada masa itu. Di sinilah Nietzsche sampai pada Nihilisme. Nihilisme merupakan syarat untuk menjamin orisinalitas dalam berkreasi sehungga kreasi itu benar-benar bermakna. Orang harus berani menolak nilai-nilai dan pemikiran yang ada sebelumnya. Teori-teori, hukum-hukum, pengetahuan yang diciptakan harus benar-benar dilepaskan dari konsep sebelumnya. Teori-teori yang muncuil tidak akan bermakna jika hanya mengukuhkan atau mengukur teori yang sudah ada. Bahkan, teori yang sudah besar dan mapan pun harus dilepaskan.
Kritik dan penolakan terhadapa epistemologi tradisional yang berusaha memperoleh kebenaran bukan semata-mata karena semangat nihilismenya. Selama teori yang ada sebelumnya selalu dianggap benar, maka tidak akan muncul pengetahuan yang baru. Dengan sendirinya tidak akan ada kemajuan. Di sinilah Nietzsche mengajarkan suatu keterbukaan ilmu yang pada abad ke-20 ini diteruskan oleh Karl R. Popper.
d)      Aliran Epistimologi
1.      Empirisme
Empirisme berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh melalui indra. Indra memperoleh kesan-kesan nyata. Kemudian, kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia sehingga menjadi pengalaman. Pengetahuam yang berupa pengalaman terdiri atas penyusunan dan pengaturan kesan-kesan yang bermacam-macam. Dari segi hakikat pengetahuan empirisme berpendirian bahwa pengetahuan berupa pengalaman. (Sudaryanto, 2013: 39).
2.      Rasionalisme
Sumber pengetahuan menurut rasionalisme adalah akal. Akal memperoleh bahan melalui indra. Kemudian diolah oleh akal sehingga menjadi pengetahuan. Rasionalisme mendasarkan pada metode deduksi, yaitu cara memperoleh kepastian melalui langkah-langkah metodis yang berttik tolak dari hal-hal yang bersifat umum untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak didalam ide kita, dan bukannya pada objek. (Kattsoff, 2004: 135)Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya adalah Rene Descartes, Spinoza, dan Leibniz.
3.      Fenomenologi
Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.
4.      Intuisionisme
Intusionalisme adalah suatu aliran atau paham yang menganggap bahwa intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi termasuk salah satu kegiatan berpikir yang tidak didasarkan pada penalaran. Jadi Intuisi adalah non-analitik dan tidak didasarkan atau suatu pola berpikir tertentu dan sering bercampur aduk dengan perasaan. Tokoh aliran intusionalisme, antara lain: Plotinos (205 -270) dan Henri Bergson (1859 -1994).Bergon menyatakan bahwa intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif. (Kattsoff, 2004: 141)
5.      Positivisme
Positivisme berpendirian bahwa kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apapun yang berada diluar dunia pengalaman tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia ini. Filsafat positivisme berpandangan bahwa semua fenomena tunduk terhada hukum alam yang sama. Urusan kita adalah mengupayakan suatu penemuan akurat atas hukum-hukum itu.
6.      Skeptisisme
Skeptisisme adalah satu-satunya aliran yang secara radikal dan fundamental tidak mengakui adanya kepastian dan kebenaran, atau sekurang-kurangnya menyangsikan secara fundamental kemampuan pikiran manusia untuk mendapatkan kepastian. (Pranarka, 1987: 95)Secara etimologikal kita mengetahui bahwa istilah skeptisisme itu berasal dari kata bahasa Yunani skeptomai, artinya memperhatikan dengan cermat, meneliti. Para skeptisi pada mulanya adalah orang-orang yang mengamati segala sesuatu dengan cermat serta mengadakan penelitian terhadapnya. Namun karena didalam interaksi diantara mereka itu tidak tercapai kesepakatan, maka timbullah masalah baru yaitu mengenai patokan kesepakatan. Bahkan selanjutnya sementara sampai kepada kesimpulan untuk meragukan adanya kepastian dan ukuran kebenaran. Dari situlah timbul istilah skeptisisme yaitu aliran atau sistem pemikiran yang mengajarkan sikap ragu sebagai sikap dasar yang fundamental dan universal. (Pranarka, 1987: 95)
7.      Agnotisisme
Mudhofir (1996:4) dengan singkat menjelaskan bahwa agnostisisme dalam epistemologi adalah aliran yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin memperoleh pengetahuan tentang suatu pokok permasalahan. Pokok permasalahan yang seperti apa? Tidak dijelaskan dalam bukunya.
Sedangkan Hartoko (1986:3) menjelaskan dengan menambahkan apa yang tidak dapat diketahui itu. Menurutnya agnostisisme sama dengan skeptisisme, yang menyangkal bahwa hakekat sesuatu dapat diketahui (melawan pengetahuan metafisik). Apalagi pengetahuan menganai adanya tuhan dan sifat-sifatnya. Merekea (para agnotis) hanya menerima pengetahuan inderawi dan empirik. Tiada menerima adanya analogi.Jika kembali melihat arti katanya tentu akan mendapatkan pengertian yang lebih luas lagi. Lorens (2005:22-23) mengatakan bahwa asal istilah ini ialah kata yunani, ’ yang berarti ‘bukan’ atau ‘tidak’, dan gnostikos yang berarti ‘orang yang mengetahui’ atau ‘mempunyai pengetahuan tentang’. Agnostis berarti tidak diketahui.

C.     AKSIOLOGI
1.      Pengertian Aksiologi
Dalam Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti “nilai” dan logos yang berarti “ilmu” atau “teori”. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Adapun Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nalai secara umum.k
Aksiologi yaitu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai se­cara umum. Sebagai landasan ilmu aksiologi mempertanyakan untuk pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan ntara cara penggunaan itu dan kaidah moral? Bagaimana penentuan jek yang ditelaah berdasarkan pilihan moral? Bagaimana kaitan an­tara teknik, prosedural yang merupakan operasionaliaasi metode ilmiah dan norma-norma moral atau profesional? Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S. Suriasumantri (2010) mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan penggunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut Francia Bacon dalam Jujun bahwa "pengetahuan adalah kekuasaan" apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang diaebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya.
2.      Aspek Aksiologi
a.       Etika
Etika merupakan salah satu cabang ilmu fisafat yang membahas moralitas nilai baik dan buruk, etika bisa di definisikan sebagai nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan manusia atau masyarakat yang mengatur tingkah lakunya.Etika berasal dari dua kata ethos yang berarti sifat, watak, kebiasaan, ethikos berarti susila, keadaban atau kelakuan dan perbuatan yang baik.Dalam istilah lain dinamakan moral yang berasal dari bahasa latin mores, jamak dari mos yang berarti adat, kebiasaan. Dalam bahasa arab disebut akhlaq yang berarti budi pekerti dan dalam bahasa Indonesia dinamakan tata susila.Dalam hal ini ada berbagai pembagian etika yang dibuat oleh para ahli etika, beberapa ahli membagi ke dalam dua bagian, yaitu etika deskriptif dan etika normative, ada juga yang menambahkan yaitu etika metaetika.

1)      Etika deskriptif
Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas seperti: adat kebiasaan, anggapan tentang baik atau buruk, tindakan yang di perbolehkan atau tidak. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu, kebudayaan atau sub-kultur tertentu. Oleh karena itu, etika deskriptif ini tidak memberikan penilaian apapun, ia hanya memaparkan. Etika deskriptif lebih bersifat netral. Misalnya, penggambaran tentang adat mangayau kepala pada suku primitive.
Etika deskriptif dibagi ke dalam dua bagian: pertama, sejarah moral, yang meneliti cita-cita, norma-norma yang pernah di berlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang mencakup beberapa bangsa. Kedua, fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena moral yang ada.
2)      Etika Normatif
Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat mempersoalkan norma yang diterima seseorang atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah norma itu benar atau tidak. Etika normatif berarti sistem-sistem yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik atau buruk.
Etika normatif kerap kali juga disebut filsafat moral atau juga disebut etika filsafati. Etika normatif dapat dibagi kedalam dua teori, yaitu teori nilai dan teori keharusan. Teori-teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori keharusan membahas tingkah laku. Adapula yang membagi etika normative kedalam dua golongan sebagai berikut: konsekuensialis dan nonkonsekuensialis. Konsekuensialis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun nonkonsekuensialis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari tindakan itu, atau ditentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaanya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu.
b.      Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni dan keindahan. Istilah estetika berasal dari kata Yunai yang mempunyai arti aesthesis, yang berati pencerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau bisa juga berati pengamatan spiritual. Istilah art berasal dari kata latin ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan.
 adalah cabang filsafat yang memberikan perhatian pada sifat keindahan, seni, rasa, atau selera, kreasi, dan apresiasi tentang keindahan. Secara ilmiahnya, ia didefinisikan sebagai studi tentang nilai-nilai yang dihasilkan dari emosi-sensorik yang kadang dinamakan nilai sentimentalitas atau cita rasa atau selera. Secara luasnya, estetika didefinisikan sebagai refleksi kritis tentang seni, budaya, dan alam. Estetika dikaitkan dengan aksiologi sebagai cabang filsafat dan juga diasosiasikan dengan filsafat seni.
Estetika dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu estetika deskriptif dan estetika normative. Estetika deskriptif menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Estetika normative mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran pengalaman keindahan. Adapula yang membagi estetika kedalam filsafat seni (philosophy of art) dan filsafat keindahan (philosophy of beauty). Filsafat seni mempersoalkan status ontologis dari karya-karya seni dan memepertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan manusia dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah keindahan itu ada apakah nilai indah itu objektif atau subjektif.
3.      Karakteristik Akseologi
1.      Nilai objektif atau subjektif. Nilai itu objektif jika ia tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada realisasinya subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik. Suatu nilai dikatakan objektif apabila nilai itu memiliki kebenarannya tanpa memper­hatikan pemilihan dan penilaian manusia. Contohnya, nilai-nilai baik, jika benar, cantik, merupakan realitas alam, yang merupakan bagian dari sifat yang dimiliki oleh Benda atau tindakan itu. Nilai itu subjektif apabila me­miliki preferensi pribadi, dikatakan baik karena dinilai oleh seseorang.
2.      Nilai dikatakan absolut atau abadi. Apabila nilai yang berlaku se­karang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku secara absah sepanjang masa serta akan berlaku bagi siapa pun tanpa memperhatikan atau kelas sosial.
4. Aliran Akseologi
a. naturalisme
Aliran yang beranggapan bahwa kebahagiaan manusia itu diperoleh dengan menurutkan panggilan natural (fitrah) kejadian manusia sekali. Perbuatan yang baik menurut aliran ini ialah perbuatan yang sesuai dengan fitrah manusia.
Paham ini menilai baik dan tidaknya perbuatan seseorang ditilik dari adanya kesesuaian dengan naluri manusia, baik naluri lahir maupun naluri batin sebagai titik tolak kebahagiaan. Paham ini didukung oleh Prodicus, Galileo, Grotius, Voltaire, dll.

b.       hedonisme,
Aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu ialah perbuatan yang menimbulkan ‘hedone’ (kenikmatan dan kelezatan). Kebaikan yang paling utama dan kewajiban seseorang ialah mencari kesenangan sebagai tujuan hidupnya. Aliran hedonisme dibagi menjadi dua cabang yaitu hedonism egostik dan hedonism universalistic. Aliran hedonism didukung oleh Demokritos, Aristeppos, dan Epikuros.
c.       utilitarianisme
Aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia ditinjau dari kecil dan besarnya manfaat bagi manusia (utility = manfaat). Paham utility didukung oleh JS. Mill, Bentham, dll.
d.      idealisme
Aliran yang menilai baik buruknya perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab-musabab lahir, tetapi haruslah didasarkan atas prinsip kerohanian (idea) yang lebih tinggi.
e.       vitalisme
Aliran yang menilai baik-buruknya perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada atau tidak adanya daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.



f.      

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
1.      Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Ontos berarti yang ada dan Logos berarti ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu yang mempelajari atau membahas tentang hakikat sesuatu yang ada atau dengan kata lain artinya ilmu yang mempelajari tentang “yang ada” atau dapat dikatakan terwujud dan berdasarkan logika. Sedangkan menurut istilah ontologi adalah ilmu yang membahas sesuatu yang telah ada, baik secara rohani. Disisi lain, ontologi filsafat adalah cabang filsafat yang membahas tentang prinsip yang paling dasar atau yang paling dalam dari sesuatu yang ada.
2.      Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of knowledge. Dengan kata lain, epistemologi adalah bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenarannya.
3.      Dalam Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti “nilai” dan logos yang berarti “ilmu” atau “teori”. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Adapun Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nalai secara umum.k

B.     Saran
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, kita dianjurkan untuk mempelajari filsafat dengan berbagai macam cabang ilmunya. Karena, dengan cara kerjanya yang bersifat sistematis, universal (menyeluruh) dan radikal, yang mengupas, menganalisa sesuatu secara mendalam, ternyata sangat relevan dengan problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat antara berbagai macam disiplin ilmu yang terpisah kaitannya satu sama lain. Dengan demikian, menggunakan analisa filsafat, berbagai macam disiplin ilmu yang berkembang sekarang ini, akan menemukan kembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan masyarakat dan akan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan hidup manusia.





DAFTAR PUSTAKA

Royn.2017.Philosophers Community Filsafat Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
E:\filsafat sains\Philosophers Community_ Filsafat_ Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.mhtml
Diakses 1 April 2019

Afid Burhanuddin.2016.EPISTIMOLOGI, ONTOLOGI, AKSIOLOGI, PENGETAHUAN FILSAFAT.
(E:\filsafat sains\EPISTIMOLOGI, ONTOLOGI, AKSIOLOGI, PENGETAHUAN FILSAFAT – Afid Burhanuddin (1) (1).mhtml
Diakses 28 Maret 2019

Raditya.2013.Filsafat Ilmu dan Logika_ AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN DAN MANFAATNYA BAGI MANUSIA.
E:\filsafat sains\Filsafat Ilmu dan Logika_ AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN DAN MANFAATNYA BAGI MANUSIA (Bab 10).mhtml
Diakses 28 Maret 2019
















Tidak ada komentar: